Kamu... iya kamu
Yang selalu menamparku berulang kali dengan kata-kata
Meski sewaras nalarku, aku tau tak sedikitpun niatmu begitu
Tapi mengapa kata-kata sederhanamu selalu mencuatkan sembilu di dadaku
Kadang begitu sangat menyayat nurani dan mampu menghasilkan derai air mata
Tanpa setaumu aku selalu mencoba pada tahap tau diri
Karena begitulah semestinya, bahwa kita terlalu pangling jauhnya
Aku selalu begini harus menahan dan mematikannya sebelum ada
Selalu saja sama dengan segala butiran yang bertunas sejuta kali, ini pun kulalui sebelumnya
Aku yang terlalu perasa atau kau yang tak peka
Mungkin memang nalar yang utama disini, hingga tak mungkin ada cinta berbisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar